Hakikat perniagaan di negeri ini sering
saya gambarkan dalam cerita tentang
seorang pengusaha kecil yang memiliki
produk, katakanlah keripik ubi. Untuk
dapat masuk ke sebuah supermarket
besar, produk ini harus melewati
sekian uji-saring ketat, dari kualitas
hingga kemasan. Dan akhirnya iapun
diterima, terpampang agak
tersembunyi di salah satu sudut
raknya.
Tapi sistem pembayaran keripik ubi itu
adalah *konsinyasi*; tiga bulan
dipajang baru dihitung berapa yang
laku. Laporan bisa diambil sekaligus
sisa barang. Lalu pembayaran tunai
baru akan diterima secepat-cepatnya
sebulan kemudian.
*Total empat bulan.*
Tapi kalau si pemilik usaha amat kecil
ubi ini pada saat menyetorkan
dagangannya hendak beli beras atau
gula di supermarket itu, bisakah ia
minta dihitung nanti dari hasil
dagangannya? *Tidak*!. Dia harus
membayar tunai. Saat itu juga.
*Inilah tata ekonomi, di mana orang
miskin membiayai orang kaya*.
_*Pemilik usaha kecil itulah yang
menopang bisnis para pemodal besar
supermarket.*_
*Maka kita selalu bahagia pergi ke
pasar tradisional, karena kita akan
menemukan nilai-nilai yang amat
mahal*.
Saking mahalnya, 500 orang terkaya di
dunia versi Forbes bersekutupun
takkan sanggup membelinya.
Tempo hari, terlihat di Pasar
Prawirotaman Yogyakarta, seorang ibu
penjual bawang merah dan putih yang
asyik mengupasi sebagian dagangan
yang sudah keriput kulitnya. Tak
banyak yang disandingnya, hanya
setampah kecil sahaja.
Lalu seorang lelaki yang lebih muda,
sambil tersenyum ke sana kemari
menjajakan pisang satu lirang saja,
yang dilihat keadaannya memang
hanya akan bagus kalau dimakan hari
ini segera. Besok tidak.
Dan tetap asyik dengan pisaunya, sang
ibu mendongak, lalu berkata dengan
tawa ringan yang memamerkan
giginya, "Tolong pisangnya gantungkan
di cantelan motorku itu ya Dik, ini
uangnya ambil ke sini."
"Ya Mbak, lima ribu saja buat
Njenengan."
Maka ketika si Mas usai menaruh
pisang itu, sang ibu menyumpalkan tiga
uang lima ribuan ke tas plastik si Mas
yang berisi jajanan ketika dia
mendekat.
Semula lelaki itu tak menyadarinya,
tapi setelah berjalan beberapa langkah
dia kembali. "Weh, kebanyakan Mbak",
katanya.
"Tidak apa-apa, buat jajan anakmu lho
Dik. Lagipula pisang segini banyak ya
ndak mungkin 5000 to."
"Ndak. Memang segitu harganya
Mbak. Jajannya juga sudah ada kok
ini." Lalu uang itu dikembalikannya. Tak
mau kalah, Si Ibu segera menyusul Si
Mas yang berlari. Memasukkan lagi
uang lebihan 10.000 itu ke tas
plastiknya. Si Mas tersenyum geleng-
geleng kepala. Lalu dengan penuh
kesopanan, dia pamit pergi.
Siang hari ketika si Ibu hendak pulang,
seorang pedagang bakso
menghampirinya. "Ini mbak,
baksonya."
"Lho saya tidak pesan itu?"
"Lha tadi Mase penjual pisang yang
memesankan itu. Terus dia bilang
diracik sama ngasihkannya nanti saja
kalau Njenengan mau pulang."
"O Allah... Rejeki. Sembah nuwun
Gustiiii..."
*Adakah engkau temukan di tempat
belanjamu orang saling berebut untuk
membahagiakan sesamanya seperti
ini?*
Ah, mungkin sesekali kau perlu pergi
ke pasar yang kaulihat becek dan
sumpek itu. *Sebab di sana ada yang
tak dapat kaubeli dengan harta, tapi
dapat kaurasakan mengaliri hatimu
dengan sejuta haru dan makna.*
*Mari beralih ke pasar tradisional, dan
menjadi kaya bersama-sama, bukan
memperkaya yang sudah super kaya.
Sumber: Salim A. Fillah
Selamat Beraktifitas...
Belum ada tanggapan untuk "KETIKA SI MISKIN MEMBIAYAI ORANG KAYA"
Posting Komentar