Pagi ini seseorang mengirim pesan di WA. Ternyata dia adalah teman
sekelasku di SMP kelas 1. Dia memberikanku banyak masalah yang dampaknya
masih kurasakan hingga sekarang.
Masalah yang ia sebabkan begitu
menyakitkan sampai-sampai aku dulu sempat berpikir untuk membunuhnya
jika membunuh itu tidak berdosa dan tidak masuk penjara.
"Aku menyesal banget, maafin aku ya waktu di SMP dulu. Aku bener-bener gak punya otak."
Tapi begitulah pesan WA yang kubaca sekarang.
Masalah kami sudah berlalu 6 tahun lalu, apa yang membuatnya minta maaf
padaku? Aku tahu bukan hal yang mudah baginya untuk berkata seperti
itu.
.
Sungguh, menulis tentang "memaafkan" seperti ini tidaklah
mudah, sebab aku bukan manusia berhati emas 24 karat. Tentu saja aku
masih kesal, menangis, dan terluka ketika seseorang melakukan hal buruk
padaku. Tidak seorangpun layak untuk diperlakukan seperti itu.
Tapi pesan WA darinya membuatku kembali ingin menasehati diri sendiri, membuatku merenungi lagi hal-hal ini:
Sesungguhnya Tuhan telah menanamkan sebuah mekanisme di tubuh manusia yang bernama 'self-punishment'.
Mekanisme ini sudah terinstall otomatis agar manusia selalu bertindak di atas koridor.
Ketika kau melakukan kesalahan, mekanisme self-punishment mulai bekerja
untuk menghukum dirimu sendiri. Caranya adalah membuat semesta menarik
hal-hal tidak menyenangkan untuk terjadi pada dirimu.
Pernahkah kau ditimpa banyak 'kesialan' setelah kau menyakiti seseorang? Rasanya aneh kan?
Pernahkah kau merasa hidupmu didatangi banyak masalah yang tidak terduga?
Itulah self-punishment.
Mekanisme ini tidak bisa dimanipulasi, jadi tanpa kau berdoa agar Tuhan
menghukum seseorang atas kesalahan yang ia lakukan, sebenarnya ia sudah
lebih dulu 'dihukum' oleh mekanisme yang ada dalam dirinya.
Karena
itu, di semua agama, kesalahan yang dilakukan pada sesama manusia tidak
bisa dihapus hanya dengan minta maaf pada Tuhan. Mekanisme
self-punishment akan terus berjalan sebelum kau bisa menebus kesalahanmu
pada orang yang bersangkutan.
Ini berlaku pada siapa saja. Percaya atau tidak percaya. Disadari atau tidak disadari.
.
Bukan hanya itu,
Sesungguhnya segala tindakan juga adalah energi. Maka energi baik atau
buruk, cepat atau lambat, akan kembali pada orang yang memancarkannya.
Hidup adalah serangkaian "karma" yang berputar.
Jangan harap bisa lolos dari kejaran karma, atau apapun yang biasa kau
sebut: hukum tabur-tuai, sebab-akibat, ganjaran kebaikan-dosa, dan
sebagainya.
.
Mungkin aku tidak mahir menjabarkannya, tapi
segala sesuatu akan kembali pada dirimu, walau itu hanya sebesar zarrah
atau biji sawi.
Jika seseorang bersalah padamu, biarkan semesta menjalankan mekanismenya.
Urusanmu bukanlah dengan dia, tapi dengan hatimu yang sedang 'kebakaran' itu.
.
Memaafkan bukanlah menganggap remeh kesalahan yang orang lakukan.
Memaafkan juga bukan mengabaikan, melupakan, atau menganggap angin lalu
hal-hal buruk yang seseorang lakukan padamu.
Memaafkan adalah membebaskan dirimu dari racun yang terus kau minum, tapi kau berharap orang lain yang mati.
Memaafkan itu membebaskan diri sendiri.
.
Mungkin kau menyimpan ketidaksukaan pada masa kecilmu, keluargamu,
mantan kekasihmu, pada paslon yang terpilih atau paslon yang kalah,
bahkan tidak suka dan tidak memaafkan diri sendiri.
Tapi, bagaimanapun tidak ada cara lain membereskan kekacauan hidupmu kecuali dengan sungguh-sungguh memaafkan.
Keluarga, mantan, tetangga, atau teman yang menyebalkan, peristiwa yang menyedihkan,
Apakah membenci dan mendendam bisa serta merta mengubah itu semua?
Jika tidak, lalu apa gunanya?
Siapa yang kau rugikan, siapa yang sebenarnya kau sakiti? Betul, diri sendiri!
Mengapa kau memutuskan untuk 'menyakiti' diri sendiri atas kesalahan orang lain?
Lepaskan, lepaskan, lepaskan.
Karena kebahagiaanmu lebih penting dari ini semua, dan bersyukurlah kau tidak sejahat mereka.
Mereka hanyalah orang-orang yang kebetulan Tuhan pinjam untuk mengajarimu sesuatu.
Kalau pun tidak datang dari mereka, suatu saat pelajaran itu pasti tetap Tuhan kirim lewat orang lain.
Dedy Susanto mengatakan, "Orang yang tidak mau memaafkan adalah orang
yang sombong karena tidak memaafkan itu harganya sangat mahal, dan ia
merasa sanggup membayarnya."
.
Aku memahami bahwa memaafkan adalah perkara yang tidak mudah. Butuh waktu. Butuh ilmu.
Tapi, aku telah merenung cukup lama untuk sampai pada suatu kesimpulan:
Memaafkan akan tetap jadi hal yang sulit selama kau masih menganggap maaf sebagai pemberian.
.
@afi.nihayafaradisa
Belum ada tanggapan untuk "Afi Nihaya Faradisa-MAAF DAN MEMAAFKAN"
Posting Komentar